Hai Skandis, setujukah bahwa budaya bersaing dan menunjukkan keunggulan adalah sesuatu yang telah dipraktikkan berjamaah di berbagai sektor?
Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan diri memperoleh peluang-peluang baru dengan sederet bekal prestasi yang dipunya. Namun apakah ini selamanya menjadi sesuatu yang baik atau justru menekan diri untuk selalu berlari dan memberi efek samping arogan dan tinggi hati.
Sifat ‘keakuan’ nyatanya menjadi kendala seiring dengan diberlakukannya persaingan yang mulai di bentuk sejak dunia pendidikan. Hari ini yang dibutuhkan adalah pribadi-pribadi yang siap berkolaborasi dengan berbagai kelebihan dan kekurangan setiap individu untuk bisa sampai pada kesuksesan secara kolektif atau kelompok.
Nah, pemahaman ini telah lama disadari oleh warga Denmark yang pada akhirnya mendarah daging menjadi falsafah budaya dan menyebar ke banyak negara di semenanjung Skandinavia.
Pengakuan dan catatan secara tertulis tentang falsafah Janteloven, sebagai falsafah anti-keakuan pertama kali yaitu pada tahun 1933 oleh seorang penulis kenamaan Denmark-Norwegia, Aksel Sandmose, dalam novelnya yang berjudul En Flyktning Krysser Sitt Spor (A Refugee Crosses His Tracks).
Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah Seorang Pengungsi Melintasi Jejaknya. Berkisah tentang seorang lelaki bernama Espen Arnake yang mencari ketenangan atas kegelisahan dan rasa bersalahnya karena telah melakukan banyak pembunuhan di masa mudanya.
Baca Juga:
- Gaya Hidup “Slow Living”
- Gaya Hidup “LAGOM” di Negara Skandinavia
- Kultur ‘Kebahagiaan’ Norwegia dalam ‘Kos’.
Aksel Sandmose yang mulai menulis sejak 1923 banyak terinspirasi oleh pengalaman hidupnya yang menyaksikan penindasan dan kekerasan yang terjadi selama dirinya bekerja di kamp penebangan kayu di kapal Newfoundland.
Dari sinilah ia tergugah untuk menulis novel yang dianggapnya mampu mengembalikan ingatan banyak orang akan falsafah hidup mendasar warga Skandinavia, salah satunya Janteloven.
Janteloven sendiri bukanlah sebuah nama yang disematkan sebagai warisan nenek moyang bangsa Skandinavia untuk falsafah rendah hati mereka. Nama ini dijadikan julukan falsafah tersebut semenjak novel Aksel Sandmose mendunia dan turut dipraktikkan oleh negara lainnya di luar Skandinavia.
Janteloven diambil dari kata ‘Jante’, sebuah kota imanjiner di Denmark yang dikisahkan dalam bukunya. Sedangkan ‘lov’ adalah akar kata Nordik yang berarti hukum, aturan, atau falsafah. Warga Swedia menyebutnya Jantelagen, Finlandia menyebutnya Jantelaki, dan Islandia menyebutnya Jantelogin.
Berkat falsafah Janteloven ini banyak warga Skandinavia yang berprestasi mendunia namun tidak tertarik untuk mengekspos dirinya di hadapan media secara berlebihan, bahkan mereka cenderung nyaman untuk tidak diketahui dan membiarkan begitu saja karya dan prestasinya diagungkan dunia.
Dalam industri musik ada Max Martin, pencipta lagu populer di seluruh dunia, seperti Blank Space dan beberapa lagu dalam album Red (Taylor Swift), Problem (Ariana Grande), Baby One More Time (Britney Spears), Since You Been Gone (Kelly Clarkson), Want It That Way (Backstreet Boys), dan sebanyak sepuluh kali kerjasama dalam album Katty Perry dan lima kali kerjasama dengan Pink.
Di dunia perfilman ada Greta Garbo, aktris berkebangsaan Swedia yang menjadi superstar di Hollywood pada tahun 1920-an hingga 1930-an namun sangat tidak menyukai publisitas dan memilih menyendiri di masa pensiunnya.(Eka Sawitri Rahayu)