Hello Skandis!
Tren tinggal di apartemen telah menjadi sesuatu yang umum di berbagai negara, karena angka untuk mendapatkan rumah tapak jauh lebih mahal dan tidak berimbang dengan pendapatan dan rencana keuangan keluarga. Perumahan yang dibangun di kawasan kota dengan pinggiran memiliki harga yang sangat berbeda.
Sedangkan apartemen yang dikembangkan di Indonesia rata-rata berdiri di pusat kota karena hampir semuanya menjadikan akses dan fasilitas kota sebagai daya tarik dan keunggulan yang dapat dijangkau penghuni apartemen dengan mudah.
Jadi jika dilihat lebih teliti lagi, apartemen sebenarnya hunian yang cukup terjangkau dengan berbagai fasilitas yang diperoleh dari pengembang maupun publik.
Namun tinggal di apartemen belumlah menjadi sesuatu yang di lirik banyak orang di Indonesia. Ada banyak pertimbangan, terutama bagi keluarga yang merencanakan kehamilan atau justru telah memiliki anak.
Bangunan yang tinggi menjulang, bertetangga dengan banyak pintu tertutup, dan keterbatasan mengakses dunia luar menjadi sesuatu yang dikhawatirkan mempengaruhi tumbuh kembang anak, terutama psikologi mereka. Namun benarkah pernyataan tersebut, yuk perluas literasi kita mengenai hal ini, Skandis!
-
Pendapat Para Penghuni Apartemen
Skandis, kita akan mulai dari beragam pendapat para penghuni apartemen. Mereka tinggal bersama pasangan dan anak dengan jumlah lebih dari satu. Mengapa pembahasan ini di mulai dari pengambilan kesimpulan para penghuni apartemen? Tujuannya untuk memperoleh gambaran secara mudah dalam memperlihatkan praktik tinggal di apartemen bersama anak.
Berdasarkan pengumpulan pendapat di aplikasi Quora terdapat begitu banyak pertanyaan mengenai ‘bagaimana membesarkan anak di apartemen’ dan berbagai hal lainnya yang terkait dengannya. Pertanyaan ini lahir dari banyak keluarga dengan berbagai latar belakang ekonomi dan negara.
Jadi keresahan akan keterbatasan ruang apartemen sebagai sarana stimulasi dan ekplorasi mendominasi para orangtua untuk membesarkan anak mereka di apartemen. Satu hal lagi mereka memiliki ketakukan akan pergeseran sosial anak-anak mereka kelak ke antisosial, egois, dan tertutup.
Namun fakta membuktikan, para orangtua yang telah menjalani berkeluarga di apartemen memberi jawaban yang hampir sama. Tujuan dari memiliki anak tidak terhenti hingga mereka lahir, namun masih berkelanjutan hingga pengasuhan dan membesarkan mereka sampai pada usia dewasa. Fokus utama dan tugas panjangnya ada pada parenting.
Setiap anak pada dasarnya tidak begitu peduli mereka tinggal dimana, tapi dengan siapa mereka tinggal dan bagaimana mereka diperlakukan dan di asuh.
Mungkin terbersit dari bibir mungil mereka pertanyaan ‘mengapa kita tidak tinggal di rumah, mama-papa?’ namun sejatinya itu hanyalah pertanyaan akibat respon otak yang mereka terima karena melihat keberagaman tempat tinggal yang mungkin dihuni teman-temannya, bukan untuk mempersalahkan apalagi merasa tidak beruntung harus tinggal di apartemen.
Para keluarga lainnya menjawab, bahwa tinggal di apartemen dengan gaya hidup serba praktis bukan berarti menjadikan parenting terkikis dan minimalis. Membiarkan anak terus menerus di dalam unit dengan berbagai gadget adalah hal yang salah. Justru ajaklah anak keluar, menikmati beragam fasilitas ramah anak yang disediakan pengembang dan pengelola apartemen.
Ajari mereka bersosialisasi dengan siapa saja, petugas front office, security, kebersihan, atau siapapun, tidak terpaku pada teman sebaya. Jika pun ada cobalah bersama-sama mendekat dan memperkenalkan diri, bertanya di unit berapa mereka tinggal, akrabkan diri dan buat janji main bersama.
Konsistenlah dalam mengajari anak melihat berbagai hal positif dan mengenalkan pada banyak hal baik lainnya yang mendukung tumbuh kembangnya. Keterbatasan dan pergeseran perilaku anak mengarah ke tertutup dan egois sejatinya tergantung dari bagaimana orangtua mengenalkan, membimbing, dan mengasuh mereka.
Mereka akan menjadi anak yang riang, terbuka, dan senang bereksplorasi ketika orangtua memberi kesempatan selebar-lebarnya dan tidak mensugesti mereka bahwa apartemen adalah tempat yang tidak aman bagi mereka.
-
Apa Kata Ahli
Ini adalah hal menarik untuk di simak, Skandis, pendapat ahli mengenai fenomena membesarkan anak di lingkungan apartemen. Bahkan saya sendiri yang menuliskannya merasa tertantang, bukan hanya sebagai pengetahuan pribadi tapi juga memberi kesempatan banyak orang untuk sama-sama teredukasi.
Rumah memiliki definisi lebih luas di banding sekedar tempat berteduh. Rumah adalah tempat dimana seluruh anggota keluarga pulang, baik raga dan jiwa. Rumah haruslah menjadi tempat paling dirindukan setelah begitu banyaknya aktifitas yang dikerjakan di luar rumah.
Rahmi Dahnan M.Pd., Psi, psikolog yang berpraktik di Kemang Medical Hospital mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa hal utama yang harus disediakan orangtua untuk mendukung proses tumbuh kembang anak adalah lingkungan yang baik.
Hal ini tidak terikat pada rumah tapak atau vertikal, seperti rumah susun atau apartemen asalkan memenuhi kriteria layak dan ramah anak. Kriteria tersebut diantaranya adalah:
- Rumah yang hidup dengan bounding erat antar anggota keluarga
- Tetangga bersahabat, bahkan lebih baik lagi sebaya dengan anak
- Terdapat ruang terbuka untuk anak bermain, belajar, dan bereksplorasi
- Keamanan yang terjaga
- Terdapat sekolah yang memiliki kurikulum pengembangan karakter, sehingga anak belajar banyak hal tentang life skill dan sosialisasi
Aspek lainnya seperti tempat tinggal, hiburan, dan berwisata bersama hanyalah tambahan yang masih sangat mampu untuk dikembangkan sesuai kemampuan dan kebutuhan tumbuh kembang anak.
Jadi apa kesimpulan yang bisa kita tarik Skandis, jawabannya adalah kehangatan keluarga yang menjadi modal utama dalam mengasuh dan membesarkan anak.
Jadikan keluarga adalah orang yang selalu menjadi juara di hati anak. Teruslah bersama-sama anak untuk selalu meningkatkan kadar syukur atas segala pencapaian yang di raih. Apartemen bukanlah kendala untuk membesarkan anak berprestasi di masa depan. Semangat mengasuh Skandis!(Eka Sawitri Rahayu)