Pemahaman tentang masyarakat hari ini banyak dipengaruhi oleh aliran modernisme. Yaitu bahwa pada hakikatnya masyarakat adalah sebuah sistem (Wirutomo, 2022), yaitu suatu satuan yang terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang saling terkait dan saling memiliki ketergantungan fungsional. Semua subsistem itu saling berhubungan secara fungsional bukan demi kepentingan sendiri, melainkan demi keberlangsungan hidup dari sistem (survival of the system).
Sehingga secara global, warga dunia, diharapkan mengikuti sebuah pola (mungkin modernisasi) bersama untuk mempertahankan sistem bersama tersebut. Maka ketika dunia sudah memasuki era revolusi industri 4.0, suasana sistem yang dibangun adalah kehidupan sinergi bersama manusia dan teknologi. Seluruh umat manusia diharapkan ’melek’ teknologi dan dapat mengoptimalkannya dengan segera, sebelum ’dikendalikan’ suatu saat oleh kemajuan teknologi. Hal ini membuat seakan-akan denyut kehidupan menjadi semakin cepat dan terus berakselerasi.
Orang berlomba-lomba mencapai taraf hidup yang distandarkan oleh konstruksi sosial yang dipercayai bersama. Menurut Gidden (dalam (Jones, 2009)) baik dalam tataran pra-modern maupun tradisional modern, manusia memiliki kesadaran akan keteraturan sosial, ingin menjadi mantap di tempat di mana ia hidup, menyadari pentingnya institusi yang mantap/mapan yang menjadi wahana bagi perwujudan eksistensi dan identitasnya di ranah sosial. Mereka tidak punya gadget/lokasi tinggal elite/kendaraan suportif, (dianggap) warga tertinggal dan lain-lain. Sehingga semua berlomba dan segera memilikinya, walaupun belum tentu mampu mengoptimalkannya.
Maka ketika kenyamanan ini seakan menjadi standar baru, berlombalah para lulusan perguruan tinggi, profesional muda atau pasangan muda untuk mengajukan kredit mobil, rumah, motor, perabotan dan lain-lain. Seakan-akan secepat mungkin harus memasuki zona nyaman dan terlihat sukses. Sehingga laris manislah seluruh tawaran kredit untuk mendapatkan fasilitas tersebut, dan hidup selanjutnya menjadi terus berpacu untuk melunasi cicilan.
Isu Fear of Missing Out, juga menambah gaya hidup fast living. “Saya sudah ke mal ini, kalian sudah belum?”, “Saya sudah sampai restoran yang lagi hits ini, kalian sudah belum?” dan semacamnya, juga memacu fast living, yaitu ingin segera berstatus sama dengan orang lain. Maka perlombaan ini seakan tidak akan ada ujungnya. Sehingga kehidupan seperti kompetisi berlari yang tidak berujuang dan membuat pelarinya lelah terengah-engah. Saking harus bergegasnya, makanan pun menjadi fastfood. Bahkan jargon tokoh Darwin seakan berubah dari survival of the fittest, menjadi survival of the fastest.
Baca Juga:
- Hustle Culture Tidak Menjamin Masa Depan, Lakukan 5 Hal Berikut
- Gaya Hidup “LAGOM” di Negara Skandinavia
- Belajar Hidup Sederhana dari Orang-Orang Terkaya di Dunia
Slow living
Hari ini, dunia seakan menemukan antitesanya. Warga dunia semakin mengenal gaya hidup slow living. Dan seperti biasa, sesuatu yang baru cepat menjadi viral. Namun, khusus isu ini, sejumlah ahli memberikan beragam definisi. “Slow living berarti menata kembali hidup di sekitar dengan pemaknaan yang penuh. Mirip dengan kesederhanaan, ini menekankan pada pendekatan yang lebih sederhana dan berfokus pada kualitas hidup.
Slow living juga menjawab keinginan untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan mengejar kesejahteraan holistik. Selain keuntungan pribadi, ada manfaatnya untuk lingkungan. Saat melambat, kita jadi lebih sering menggunakan lebih sedikit sumber daya sehingga limbah yang dihasilkan pun sedikit. Ini memberikan dampak baik untuk bumi.“ — Beth Meredith dan Eric Storm (dalam artikel aozora dee di laman yoursay.id) Selanjutnya menurut artikel dari jurnal ilmiah berjudul Slow Living and the Green Economy, karya Ioncica dan Petrescu (2016), mengutip pernyataan Meredith dan Storm yang menjelaskan bahwa slow living adalah upaya menstrukturkan kembali kehidupan, khususnya terkait pemaknaan dan pemenuhan hidup.
Mirip dengan (kesediaan untuk) kesederhanaan secara sukarela (voluntary simplicity) dan perpindahan ke bawah (downshifting), ini menekankan kepada a less is more approach (dengan lebih sedikit yang dikeluarkan, justru mendapatkan lebih banyak), berfokus pada kualitas kehidupan manusia. Seyogianya, kehadiran gaya hidup slow living ini, memberikan nasihat pada kita semua, khususnya yang sedang terjebak dalam kompetisi fast living. Sejatinya, tidak harus tergesa-gesa untuk terlihat sukses dan kaya, sehingga akhirnya terjebak dalam gaya hidup flexing.
Mengapa ini perlu ditekankan? Karena seakan-akan flexing, atau budaya pamer ini telah menjadi tradisi. Mungkin hampir 30-40 persen isi unggahan akun pribadi bertujuan memamerkan harta, pencapaian, sedang makan di mana, sedang bersama tokoh terkenal siapa, sedang membeli produk mahal apa, dan bahkan sedang melakukan kebaikan apa. Ketergesaan ingin segera dicap sukses dan dilabel sebagai individu berhasil, atau insan yang sholeh dan sholehah, atau remaja yang pintar, atau generasi yang berstatus sosial tinggi, membuat mereka berlomba menampilkan apapun yang mereka pikir akan meningkatkan statsu sosial mereka.
Padahal ketika semua itu semu, atau palsu, atau bahkan belum saatnya, justru akan menimbulkan stres dan tekanan baru yang berkepanjangan. Maka gaya hidup slow living menawarkan solusinya. Tidak perlu tergesa, nikmati prosesnya. Tidak perlu berharap dicap sukses, namun berusahalah menjadi pejuang proses. Tidak perlu ingin segera dicap kaya, namun nikmatilah kesederhanaan apa adanya. Pelan bukan berarti kalah, proses yang ’sedikit’ lambat memberikan waktu untuk terus berinstrokspeksi dalam segala tahapnya.
Slow living bukan berarti tidak punya ambisi, namun berupaya meraihnya dengan hati-hati. Slow living akan menghantarkan kita pada keyakinan bahwa kebahagian bukan berasal dari pujian orang luar, namun rasa bersyukur penuh kepada Ilahi. Sejatinya bukan cepat atau lambat, namun sejauh mana individu memiliki pemahaman terhadap tujuan, target, misi dan alasan kenapa ia diciptakan di muka bumi ini, khususnya yang bersumber dari ilmu Agama yang diyakininya. Sehingga ia akan terhindar dari jebakan: wrong concept, wrong understanding & wrong action.
Source : https://lifestyle.kompas.com/read/2023/05/08/163822820/gaya-hidup-slow-living?page=all#page2