Hello Skandis!
Jakarta siaga satu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mewaspadai segala bentuk kericuhan menjelang pengumuman pemenang pemilihan presiden terpilih.
Tak hanya di Indonesia, sejumlah negara lain juga menerapkan situasi serupa karena biasanya situasi politik selama pemilu memang tegang.
Namun, di sejumlah negara lain, ketegangan tersebut meningkat hingga berakhir ricuh, bahkan memicu konflik berkepanjangan. Berikut lima negara yang ricuh karena pemilu.
-
Venezuela
‘Kehancuran’ Venezuela bermula dari gelaran pemilihan presiden 2018 lalu. Saat itu, presiden petahana, Nicolas Maduro, keluar sebagai pemenang dan mempertahankan periode keduanya.
Dua rival Maduro, Henri Falcon dan Javier Bertucci, menolak hasil pemilu yang dianggap sandiwara palsu lantaran diduga terjadi banyak penyimpangan, seperti dugaan pembelian suara dan kecurangan lainnya.
Namun, Maduro tetap dilantik sebagai presiden pada 10 Januari 2019, memicu krisis politik berkepajangan hingga saat ini.
Krisis politik diperparah setelah Ketua Majelis Nasional atau parlemen, Juan Guaido, mendeklarasikan diri sebagai presiden interim Venezuela, menentang kepemimpinan Maduro.
Perebutan takhta Maduro-Guaido berimbas pada kondisi ekonomi Venezuela yang terus tersungkur setelah anjok karena harga minyak melemah pada 2016 lalu.
-
Afghanistan
Pemilu 2014 di Afghanistan hampir menggiring negara itu pada perang sipil. Saat itu, kedua calon presiden Afghanistan, Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah, sama-sama mengklaim kemenangan dalam pemilu yang berlangsung dua putaran.
Dalam putaran pertama, Abdullah Abdullah unggul suara. Sementara itu, di putaran kedua Ghani meraih suara terbanyak.
Namun, banyak pihak menuduh terjadi kecurangan dalam putaran kedua pemilu lantaran pengumuman hasil penghitungan suara diundur hingga dua bulan.
Setelah delapan bulan sengketa pemilu berlangsung, Ghani dan Abdullah akhirnya sepakat berbagi kekuasaan 50-50 dalam pemerintahan dengan menandatangani perjanjian pembentukan pemerintah persatuan nasional. Perjanjian itu dijembatani oleh Amerika Serikat.
Dalam kesepakatan itu, keduanya sama-sama memiliki kekuasaan tinggi dalam pemerintah. Ghani berperan sebagai presiden, sementara Abdullah menjabat sebagai Kepala Eksekutif Afghanistan.
-
Pakistan
Kerusuhan juga terjadi di Pakistan selama gelaran pemilu 25 Juli 2018 lalu. Bom bunuh diri bahkan terjadi di beberapa tempat seperti area kampanye hingga TPS menjelang dan saat hari pemungutan suara berlangsung.
Sebanyak lebih dari 200 orang tewas selama proses pemilu berlangsung.
Kekacauan semakin parah ketika partai petahana, Muslim League-Nawaz (PMLN), menolak hasil pemilu yang memenangkan Imran Khan dari Partai Tehreek-e-Insaf sebagai perdana menteri baru.
Militer yang disebut dekat dengan Khan diduga mencurangi surat suara untuk memenangkan pria 66 tahun itu.
-
Kongo
Sengketa hasil pemilu mewarnai pesta demokrasi di Republik Kongo, Afrika, pada Desember 2018 lalu. Kandidat presiden, Martin Fayulu, menolak hasil pemilu yang menunjukkan bahwa ia kalah suara dari rivalnya, Felix Tshisekedi.
Fayulu menuding Tshisekedi dan presiden saat itu, Joseph Kabila, memiliki kesepakatan terselubung terkait pemilu. Fayulu mengklaim meraih 62 persen suara nasional dalam pemilu.
Temuan investigasi media Financial Times (FT) dan Radio France Internationale mengungkap kecurangan masif selama pemilu. Melalui analisis surat suara nasional yang masuk sebanyak 86 persen, FT menyebut Fayulu memenangkan pemilu dengan 59,4 persen dukungan.
Fayulu menggugat hasil pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi Kongo dan menuntut penghitungan ulang suara, tapi ditolak.
Pengumuman hasil pemilu juga diwarnai protes yang berujung kekerasan. Lima orang tewas dalam demonstrasi terpisah di Kota Kikwit serta Goma.
Berdasarkan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebanyak 34 orang tewas dan 241 orang ditahan selama gelaran pemilu di Kongo.
-
Zimbabwe
Pertikaian hasil pemungutan suara juga terjadi antara kubu petahana dan oposisi dalam pemilu Zimbabwe pada Juli 2018 lalu.
Capres dari kubu oposisi, Nelson Chamisa, menolak kemenangan Presiden Emmerson Mnangagwa dalam pemilu yang digelar delapan bulan pasca-kudeta itu.
Oposisi mengklaim banyak kecurangan dalam pemilu, salah satunya anggota kepolisian disebut harus mencoblos surat suara di depan para atasan dan pengawasnya.
Protes hasil pemilu juga sempat terjadi beberapa hari setelah pemungutan suara berlangsung, di mana angkatan bersenjata dilaporkan menembak para pedemo dan saksi pemilu hingga menewaskan enam orang.
Terlepas penolakan hasil pemilu, Mnangagwa tetap dilantik sebagai presiden pada Agustus 2018 setelah pengangkatannya ditunda menyusul petisi Chamisa yang menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Baca artikel CNN Indonesia “Lima Negara Ricuh karena Sengketa Pemilu” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190521112908-106-396803/lima-negara-ricuh-karena-sengketa-pemilu.