Hi Skandis!
Perayaan hari Film Nasional ke-71 pada 30 Maret kemarin meninggalkan pertanyan pada peminat film di Indonesia. Sebenarnya bagaimana sejarah fim di Indonesia?
Perkembangan produksi film di Indonesia pada masa-masa awal juga tidak jauh dari perkembangan gedung bioskop. Dibangun di Indonesia pertama kali di tahun 1900-an pada masa penjajahan Belanda.
Dalam jurnal yang dituliskan Handrini Ardiyanti berjudul Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya, membahas perkembangan film di Indonesia.
Garin Nugroho dan Dyna Herlina membagi perkembangan film di Indonesia enam pembabakan menjadi enam periode yaitu:
1. 1900-1930 yang disebut sebagai tahapan seni kaum urban. 2. 1930- 1950 yang merupakan tahapan perkembangan film sebagai hiburan di tengah depresi ekonomi dunia. 3. 1950-1970 yang disebut sebagai ketegangan ideologi. 4. 1970-1985 yang disebut sebagai globalisme semu. 5. 1985-1998 yang disebut sebagai periode krisis di tengah globalisasi. 6. 1998-2013 yang ditandai dengan euforia demokrasi.Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag.
Namun pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu, dan film cerita impor ini cukup laku di Indonesia, dibuktikan dengan jumlah penonton dan bioskop pun meningkat.
Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926, dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” yang diproduksi oleh NV Java Film Company, adalah sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang, karena pada tahun tersebut di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Kemudian, perusahaan yang sama memproduksi film kedua mereka dengan judul “Eulis Atjih”. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret – 5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Kemudian film “Jam Malam” karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini juga dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia, karena dengan adanya kamera digital, mulailah terbangun komunitas film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada.
Film Indonesia mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak film yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik, Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik, sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja. Baru kemudian pada Tanggal 19 Desember 2009 Film Laskar Pelangi meraih Penghargaan sebagai Film Terbaik se-Asia Pasifik diajang yang digelar di Kaohsiung, Taiwan.