Beberapa anak mungkin tampak asyik bermain sendiri, tidak menoleh saat dipanggil, atau menunjukkan ketertarikan berlebihan pada satu benda. Tanda-tanda ini bisa menjadi petunjuk awal gangguan spektrum autisme yang perlu diwaspadai sejak dini.
Dalam peringatan Hari Kesadaran Autisme Sedunia, dr. Citra Raditha, Sp.A(K), subspesialis neurologi anak dari RSAB Harapan Kita, menegaskan pentingnya deteksi dini melalui siaran langsung Instagram Kementerian Kesehatan RI pada Jumat (11/4/2025) bertajuk “Peka Sejak Dini, Kenali Autisme pada Anak!”
“Jika anak di usia satu tahun belum bisa menunjuk atau tidak menoleh saat dipanggil, itu sudah menjadi sinyal awal yang perlu diperhatikan,” jelas dr. Citra.
Ia menjelaskan bahwa autisme bukan sekadar kesulitan berbicara. Gangguan ini mencakup berbagai gejala, termasuk hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dua arah, serta perilaku dan minat yang cenderung terbatas dan berulang.
“Autisme terdiri dari spektrum—ada yang ringan, sedang, hingga berat. Bahkan, gejalanya bisa luput dikenali jika cukup ringan,” tambahnya.
Deteksi autisme umumnya dilakukan sejak anak berusia 18 bulan, meski beberapa gejala bisa muncul lebih awal. Skandis sebagai orangtua disarankan untuk rutin memantau pencapaian perkembangan anak atau *milestone* dan tidak ragu berkonsultasi dengan dokter bila ada kekhawatiran.
“Cek kembali buku KIA. Jangan hanya disimpan. Di sana Skandis bisa melihat apakah perkembangan anak sudah sesuai dengan tahapan usianya,” ungkap dr. Citra.
Proses diagnosis autisme tidak dilakukan secara instan. Observasi yang mendalam dan berkelanjutan diperlukan dari tim profesional multidisiplin, mulai dari dokter anak, psikolog, hingga terapis okupasi.
“Kadang anak tampak baik secara fisik dan motorik, tapi tidak responsif secara sosial. Di situlah kita harus jeli melihat,” jelasnya.
Dalam hal terapi, tahapan penanganan sangat penting. Terapi tidak bisa langsung dimulai dari terapi bicara. Menurut dr. Citra, terapi awal yang paling utama adalah terapi integrasi sensorik untuk membantu anak lebih fokus.
“Kalau anak belum bisa duduk tenang atau mengikuti instruksi, terapi wicara belum akan efektif. Harus ada tahapan sebelumnya,” ujarnya.
Tahapan terapi selanjutnya bisa mencakup terapi perilaku yang bertujuan membangun interaksi dan kepatuhan, hingga terapi okupasi untuk melatih keterampilan motorik halus.
Autisme bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan, melainkan kondisi perkembangan yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Meski tidak dapat dicegah sepenuhnya, pola asuh yang baik bisa membantu meminimalkan gangguan dalam perkembangan anak.
“Penggunaan gawai tanpa pengawasan bisa memperparah gejala. Anak jadi semakin kurang berinteraksi dan kemampuan komunikasi dua arahnya terganggu,” tegas dr. Citra.
Autisme membutuhkan pendekatan yang sabar dan menyeluruh. Kunci utama keberhasilan penanganan adalah deteksi sejak dini, proses terapi yang bertahap, serta dukungan penuh dari lingkungan keluarga.
“Yang terpenting bukanlah membuat anak sembuh total, tetapi bagaimana Skandis bisa mendampingi anak agar dapat tumbuh optimal, bersosialisasi, mandiri, dan menjalani hidup sebaik mungkin,” tutupnya.